April 22, 2025

Innovahost – Teknologi dan Aktivitas Dalam Kehidupan Manusia

Teknologi adalah alat, sistem, atau metode yang digunakan untuk membantu manusia dalam menyelesaikan berbagai masalah

Bagaimana Media Sosial Membentuk Persepsi tentang Kesuksesan?

Media sosial telah menjadi panggung utama kehidupan digital saat ini. Di platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga LinkedIn, kita melihat berbagai kisah, pencapaian, gaya hidup, dan simbol-simbol yang dikaitkan dengan kesuksesan.

Namun, tanpa disadari, apa yang kita konsumsi setiap hari di media sosial juga membentuk cara kita mendefinisikan dan mengejar kesuksesan. Lalu, bagaimana sebenarnya media sosial mempengaruhi persepsi publik tentang kesuksesan? Apakah pengaruh ini positif, atau justru menyesatkan?

1. Kesuksesan yang Terkurasi dan Visual

Media sosial adalah dunia yang dikurasi. Setiap unggahan adalah pilihan—disaring, dipoles, dan dipilih untuk menciptakan kesan tertentu.

Dalam konteks ini, kesuksesan sering kali ditampilkan melalui pencapaian yang tampak: rumah mewah, mobil mahal, liburan eksklusif, angka pengikut yang fantastis, atau karier yang melesat.

Sifat visual media sosial, terutama Instagram dan TikTok, memperkuat persepsi bahwa kesuksesan adalah sesuatu yang harus bisa “dilihat”. Hal ini menciptakan tekanan untuk menunjukkan pencapaian, bukan sekadar mencapainya. Akhirnya, kesuksesan pun tampak seperti kompetisi citra, bukan perjalanan personal.

2. Standar Kesuksesan yang Seragam dan Tidak Realistis

Media sosial menciptakan standar kesuksesan yang seragam: harus muda, harus kaya, harus terlihat sibuk dan produktif, dan harus viral. Padahal, pada kenyataannya, definisi kesuksesan sangat beragam dan bersifat personal.

Banyak pengguna merasa “tertinggal” karena belum memiliki pencapaian seperti yang mereka lihat di linimasa. Padahal, mereka tidak melihat perjuangan di balik layar, kegagalan yang disembunyikan, atau bahkan kenyataan bahwa beberapa pencapaian itu direkayasa.

Dengan kata lain, media sosial seringkali hanya menampilkan highlight reel, bukan keseluruhan cerita hidup seseorang.

3. FOMO dan Tekanan Sosial

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin kuat di era media sosial. Ketika seseorang melihat teman-temannya sukses di usia muda, liburan ke luar negeri, atau punya bisnis sendiri, rasa cemas dan tidak puas bisa muncul. Bahkan, banyak orang yang akhirnya merasa bahwa hidup mereka “kurang berarti” karena tidak sesuai dengan standar yang dilihat online.

Inilah yang membuat banyak orang merasa terpaksa untuk mengikuti tren sukses yang viral, seperti membangun bisnis online, menjadi influencer, atau resign dari kantor untuk menjadi “digital nomad”, meskipun belum tentu itu yang mereka inginkan atau siap jalani.

4. Kesuksesan yang Terlihat = Kesuksesan yang Dianggap Nyata

Sayangnya, di media sosial, kesuksesan sering kali dinilai dari tampilan luar. Seseorang dianggap berhasil hanya karena terlihat hidup mewah atau sering tampil di layar.

Sementara mereka yang bekerja keras di balik layar—guru, petani, peneliti, atau pekerja sosial—sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang sama, hanya karena mereka tidak aktif di media sosial atau tidak menampilkan kehidupannya secara mencolok.

Fenomena ini bisa menyebabkan distorsi nilai, di mana pencitraan lebih penting daripada pencapaian yang sesungguhnya.

5. Positifnya: Inspirasi dan Motivasi

Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi sumber inspirasi. Banyak kisah sukses yang jujur, membumi, dan memotivasi. Misalnya, seseorang membagikan perjuangannya bangkit dari kegagalan, perjuangan membangun bisnis dari nol, atau kisah sukses anak desa yang kuliah ke luar negeri.

Kisah-kisah ini bisa menjadi bahan bakar semangat, asalkan dikonsumsi dengan sudut pandang yang sehat. Media sosial bisa memperluas wawasan bahwa kesuksesan tidak hanya milik mereka yang memiliki privilese, tetapi juga bisa diraih siapa saja yang gigih dan konsisten.

6. Kesadaran Kritis: Filter dalam Menilai Kesuksesan

Agar tidak terjebak dalam persepsi palsu tentang kesuksesan, kita perlu membekali diri dengan kesadaran kritis digital. Ini mencakup kemampuan untuk menyaring konten, menyadari bahwa media sosial adalah panggung, dan memahami bahwa pencapaian hidup tidak harus dibagikan ke publik untuk jadi berarti.

Setiap orang punya jalan masing-masing. Kesuksesan tidak harus berarti viral, kaya, atau terkenal. Bisa jadi, bagi seseorang, sukses adalah membahagiakan keluarga, hidup sehat, bekerja dengan etika, atau menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri—meskipun tidak pernah masuk linimasa siapa pun.

7. Mengembalikan Makna Kesuksesan yang Personal

Kesuksesan sejati adalah tentang mencapai tujuan yang bermakna secara personal, bukan sekadar memenuhi ekspektasi publik. Media sosial seharusnya menjadi alat bantu, bukan penentu nilai diri.

Oleh karena itu, penting untuk sering-sering bertanya pada diri sendiri:

  • Apa arti sukses buatku?
  • Apakah aku mengejar sesuatu karena itu impianku, atau hanya karena semua orang di media sosial melakukannya?
  • Apakah aku sedang hidup untuk linimasa orang lain, atau untuk kebahagiaanku sendiri?

Kesimpulan

Media sosial telah mengubah cara kita memandang kesuksesan—dari yang semula personal dan mendalam, menjadi sesuatu yang tampak dan harus diakui publik. Di satu sisi, hal ini bisa memotivasi. Namun di sisi lain, juga bisa menciptakan tekanan dan perasaan tidak cukup baik.

Kunci utamanya adalah kesadaran diri dan pengelolaan emosi digital. Media sosial hanyalah alat, bukan cermin mutlak dari realita. Kesuksesan tidak harus terlihat, viral, atau dipuji banyak orang. Yang terpenting adalah apakah kita merasa puas, bahagia, dan damai dengan pilihan hidup kita sendiri.

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.